A
Girl’s Sincerity
Genre: Romance
Terinspirasi dari karya Watanabe Ayu - Otomegokoro
Diceritakan kembali oleh Toge Hattori dengan beberapa perubahan di segala bagian
Character
Chapter 1 :
·
Shizuka
Fuyuki (16th)
·
Atsuki
Natsu (16th)
·
Kyouso
Akira (18th)
·
Gizensha
Haru (16th)
Warning
: Tema terlalu umum, membosankan, typo, out of EYD
“PFFTT—HAHAHA! Jadi ini
yang kau sebut perubahan 180o?”
Pemuda di depanku ini terpingkal – pingkal. Sudah 5 menit dia tak henti –
hentinya mentertawaiku, layaknya aku seorang badut. Oh ayolah, tidak semua
orang bisa berhasil dalam percobaan pertama ‘kan? Bahkan Thomas Alva Edison pun
perlu berpuluh – puluh kali percobaan agar berhasil menemukan bola lampu.
“Berisik, ku harap kau
mati 100 kali.” Ku pasang tatapan mematikan
terbaikku untuk melawan pemuda cerewet dan menyebalkan ini. Heh, kenapa dia
selalu di dekatku sih?
“Okay, lalu kau harus
mati 200 kali.” Dia menjawabku, dengan jari telunjuk sawo matangnya itu, dengan
tatapan mengejek itu. Cih, dia semakin menyebalkan.
“Kau 300 kali!”
“Dan kau 400 kali!”
“500 kali!!”
“500 kali!!”
.
.
.
Chapter 1 – Be Cute
Shi-zu-ka-fu-yu-ki.
Aku melebarkan
jangkauan mataku di tengah kerumunan orang – orang di sekitarku.
Mereka—termasuk aku adalah siswa – siswi baru Tokyo International High School
sedang mencari nama masing - masing pada selebaran kertas yang di tempeli pada
papan putih yang ada di depanku. Kau bisa menyebutnya papan pengumuman.
Okay …
Aku ditempatkan di
X-Superior. Kelas yang sering ku dengar dari kakakku—alumni tahun lalu, sebagai
kelas super-duper-idaman. Kakakku selalu berisik tentang kelas ini, dia selalu
bermimpi menjadi siswa kelas superior, berteman dengan cowok – cowok idola,
fasilitas kelas atas, dan sebagainya. Tch, bagiku kelas akan terasa indah jika
tak ada makhluk menyebalkan seperti pemuda yang ada tepat disampingku, pemuda
yang sedang sibuk mengejakan nama yang beberapa tahun ini sering ku dengar.
“Gi...zen..sha…Ha..ru..”
nama itu selalu ku dengar setiap penempatan kelas. Aku tak tahu orangnya, yang
aku tahu pemilik nama itu adalah cinta pertama teman masa kecilku, Atsuki
Natsu.
“Dia
ada disini?” tanyaku padanya yang kini sedang kecewa karena sesuatu. Biar ku
tebak, ia tak menemukan nama pujaannya di papan ini.
“Kau
pasti tahu. Hah! Kenapa sih kita tidak satu sekolah saja! Kenapa selalu kau
yang satu sekolah denganku? Selalu satu kelas. Kenapa bukan Haru?” Dia
mengerang kecewa. Sebegitu pentingnya kah Haru itu? Seperti apa rupanya?
Cantik? Feminim? “Aku juga tak pernah mengharapkan sekelas denganmu.” Ujarku sakartis.
Natsu menatapku tak suka. “Hn.” Jawabnya singkat. Tak perlu ku tanya lagi arti
dari gunamannya itu. ‘Hn.’ itu artinya ‘ya.’
“Dan
aku penasaran, seperti apa sih Haru itu sampai membuatmu gila seperti ini?” dan
aku kembali mendapat tatapan sinis dari Natsu. Hey, aku merasa benar. Kau sudah
gila Natsu, menunggu seorang cinta monyet untuk kembali, seakan kalian
diikatkan sebuah benang merah transparan. Bagiku, itu gila.
“Yang
jelas, ia berbeda terbalik denganmu, Datar. Dia itu ‘bunga matahari’ku. Dia
cantik, pintar, feminim! Yang jelas tidak sepertimu, tomboy.” cukup Natsu,
ekspresi bahagiamu ketika mendeskripsikan Haru-mu itu cukup membuatku kesal.
Aku akan menjadi manis! Lihat saja.
“Tch,
mati saja 100 kali sana!” tanganku melayang di puncak kepalanya yang menjulang
itu. Dia sedikit meringis dan membalasku untuk mati 200 kali dan seterusnya
xxx
xxx
Dulu, aku terlalu fokus
terhadap kejuaraan karate yang tak henti – hentinya. Aku tak sempat mengurus
penampilanku, bahkan tak peduli dengan cinta – cintaan. Tapi ini SMA, aku ingin
seperti gadis SMA yang wajar. Punya sisi cantik dan cute, selalu sibuk dimalam minggu. Aku ingin itu!
Langkah pertama, aku
mencoba memberi warna pada kuku ku. Warna pink
begitu girly dimataku hingga aku
kalap dalam memakainya. Hasilnya? Tidak buruk. Ada cat yang sedikit berantakan,
tapi bisa diabaikan.
Langkah kedua, aku
mencoba memakai make up ke sekolah.
Lagi lagi, sedikit bedak, sedikit eyeshadow, sedikit blush on, dan sedikit lip gloss? Aku tak bisa mengerti
perbedaan lip gloss dan lipstik.
Jadi ketika make up aku memilih yang
lebih padat. Itu lipsgloss kan?
Ta-da!
Kehidupan SMA ku
dimulai!
“Hei, kau tahu Kak Akira?” pertama, aku
harus mengakrabkan diri pada gadis gadis feminim, agar aku terimbas sifat
feminim mereka.
“Heee! Vokalis band
“Heavenly Sounds” yang terkenal itu kan? Dia tampan!!” gadis yang lain, kalau
tidak salah bernama Yui menimpali dengan antusias. Diikuti dengan lengkingan
gadis gadis disebelahku. Sedangkan aku? Aku hanya diam, bukan karena ingin
mendengarkan atau apa, aku hanya tak tahu orang yang dimaksud itu. Lalu? Aku
hanya melanjutkan makan ku tanpa menggubris mereka.
“Hey hey! Ayo berbagi
alamat email. Kita akan mengobrol sampai larut!” seruan balasan untuk kalimat
gadis—namanya Kotori ini adalah “Osh!”, yang menandakan mereka setuju.
Sayangnya, aku sangat-tidak-cocok dengan kebiasaan mereka.
“Terimakasih untuk
makanannya.” Aku mengatupkan tanganku dan segera membawa piringku untuk
dibersihkan. “Hei, Shizuka, minta emailmu dong~~” astaga, aku diserang tatapan puppy eyes yang imut!
“Untuk? Aku tidak biasa
yang seperti itu.” Aku mulai beranjak ketika mereka tetap mengeluarkan nada
nada manja untuk meminta emailku. Demi Tuhan aku tidak cocok untuk jadi seperti
mereka. Aku sudah sepenuhnya berdiri dan mulai berjalan sembari mengucapkan
penolakan pada mereka. Dan saat itu juga, aku menabrak seseorang.
DUG!
“Aduh,” yang ku tabrak
mengeluarkan suara baritone yang—err
seksi. Tabrakan ini bukan tabrakan parah yang menyebabkan aku dan pemilik suara
ini terjerembab dan akhirnya saling tindih. Aku hanya menabrak dada bidangnya,
dan dia tidak jatuh sama sekali.
Hey, kau percaya
segalanya ada sebab-akibat? Kali ini aku mengerti maksudnya.
Kita tidak terluka,
kita tidak terjerembab dan tertindih, tapi aku meninggalkan bekas—sepertinya lipstik di saku kemejanya.
“Make up-mu sangat tebal, Shizuka.” Sial, mereka tak seharusnya
berkata seperti itu. Aku semakin terlihat bodoh. Menyebalkan, aku harus minta maaf!
“Hm … Ini untuk uang laundry-nya. Aku minta maaf dengan
sangat!” spontan aku membungkuk 45 derajat untuk menunjukan aku memang merasa
bersalah. Aku terus membungkuk sampai ia menyentuh pergelangan tanganku dan
mengembalikan uang telah ku berikan padanya.
“Tidak usah, aku tak
akan marah pada gadis yang sedang belajar memakai make up—“ sial, dia ingin meledekku juga. Hey, aku sudah minta maaf
dengan tulus. “—karena itu sangat manis.”
DEG!
Dia bilang aku manis? Serius kan? Aku sedang tak bermimpi kan?
“Hm, sebagai ganti
maaf, kita kencan saja.” Dia ini sedang bercanda. Aku yakin. Mana ada pemuda
tampan seperti dia mengajak gadis yang sangat-amat-cuek dengan penampilan ini
untuk berkencan. Dan teriakan teriakan gadis dibelakangku semakin membuatku
kesal.
Dia
Kyouso Akira!
Dia
vokalis ‘Heavenly Sounds’ itu!
Kyaaaa!
Dia tampan!
Shizuka,
minta nomer hp-nya! Emailnya! Hayo!
Shizuka!
Terima sajaaaaaa
Tch, pemuda ini memang
tampan. Tapi bagiku, tampan dalam standar yang biasa saja. Ah, tanpa sadar aku
menatap Kyouso Akira ini dengan intens—lebih terlihat sangar bagi orang awam.
“Hey, Shizuka! Jangan
menatapnya begitu dong. Kak Akira, maafkan Shizuka ya. Dia hanya gugup.” Kotori
dan Yui menghalangi pandanganku—yang menurut mereka seram.
“Jadi?
Iya kan? Hari Sabtu jam 5 ya. Daahh, Shizuka-chan.” Ia memberiku alamat
emailnya, kemudian mencubit pelan pipiku. Aku bergetar. Aku tak biasa dengan
laki – laki!
Ruang kelas, sepulang
sekolah.
Cerita cintaku dimulai,
aku mendapatkan ajakan kencan. Ini pengalaman pertamaku, dan aku sangat bingung
hingga tak bisa memikirkan apa yang harus aku lakukan. Membaca buku ‘Cara
Sukses Kencan Pertama’ tak membantu banyak. Aku tak mengerti sama sekali dengan
isi buku ini.
“Warna pink sangat dianjurkan dalam kencan
pertama ….” Suara baritone lagi. Dan
aku hafal dengan logat ini. Dia meledekku lagi dengan membaca apa yang sedang
ku baca. “Shut up.” Ku tutup buku
bersampul pinky ini dengan kasar
sampai menimbulkan bunyi plak dalam
prosesnya.
“Jadi, kau sudah punya
calon? Seperti apa calon mu? Nee~” suara dengan nada menggodaku itu, rasanya
ingin ku musnahkan saja. Tapi aku tak bisa. Suara itu hanyalah angin yang tak
bisa dipukul.
“Jadi, kapan kalian
k-e-n-c-a-n?” tanyanya lagi. Keningku mengkerut, alisku hampir bertautan ketika
ia terus menanyakan hal yang membuatku pusing. “Sabtu.” Jawabku singkat dan
bergegas meninggalkan pemuda menyebalkan ini.
“Kau sudah tahu apa
yang akan kau pakai?” aku mematung. Seperdetik kemudian aku menggeleng. “Aku
bisa saja membantu mu …” dengan kalimat bodoh itu, badanku secara spontan
berbalik arah dan menghadap pemuda itu. “dengan syarat kau harus membayar
makananku di kantin 7 hari penuh. Hehe.”
Seharusnya aku memang tak perlu
mendengarkannya. “Lupakan.” Aku kembali menuju pintu dan kemudian berbalik lagi
ketika si bodoh itu berkata, “Kau yakin? Aku serius. Syaratnya gampang.” Aku
hanya menatapnya, dia harusnya cukup mengerti dengan arti tatapanku.
“Ucapkan dengan imut.
‘Tolong ajari aku, cowok terganteng, tuan Atsuki Natsu.’” Dia tersenyum. Bukan,
si Natsu itu menyeringai puas.
‘To-long a-aja-ri
a-ku,” alis Natsu naik sebelah. Seolah bahasa tubuhnya ingin aku segera
melanjutkan perkataanku. “co-wok ter-gan-teng, tu-an At-su-ki, hmph! Kalau
tidak mau, tidak usah! Aku bisa sendiri.”
“Dasar,
kau sama sekali tak imut.”
Jumat
sore, Tokyo Mall.
Besok hari Sabtu, dan
hari ini aku telah sepakat untuk membeli baju yang girly untuk besok. Tentu saja aku tidak perlu mengucapkan kalimat
nista itu. Aku hanya berjanji membayar makanannya selama 3 hari dengan tatapan
memohon—yang diartikan membunuh oleh Natsu. Dengan itu Natsu bersedia
membantuku hari ini.
“Hey!” dari kejauhan
Natsu sedikit berlaari sambil melambaikan tangannya. Semakin dekat jarak kita,
semakin matanya memancarkan perasaan kecewa. Dia kenapa sih?
“Ku kira kau akan lebih
manis hari ini. Ternyata sama saja.” Ia menatapku lesu. Ya ya aku akui, aku
hanya memakai kaos hijau dipadukan dengan kemeja hitam polos, jeans panjang dan
sandal biasa.
“Aku sedang tidak
berkencan denganmu, jadi tidak perlu sesuatu yang istimewa—“ ku dengar Natsu
menghela nafasnya panjang. “Setidaknya kau harus lebih menawan, Fuyuki. Lebih seksi sedikit.” Jawabnya
dengan raut wajah yang sangat-kecewa.
“Lalu, kita akan kemana
sekarang?” setelah pertanyaanku selesai, Natsu menempel padaku, dan telunjuknya
membentuk arahan sebuah toko rok, 10 m di depan kami. Kelakuannya ini membuatku
bergetar kembali. Aku tak bisa disentuh laki – laki!
“Hey mesum, menjauhlah.
Aku tak biasa dengan laki – laki, walaupun itu cuma pemuda bodoh sepertimu.”
Aku berusaha untuk memberinya death
glare. Tapi ia tak mendengarku, kebalikannya, ia hanya tersenyum padaku.
“Anggap saja ini
latihan.” Ujarnya santai sembari mentautkan jemarinya dengan jemariku. Itu tak
lama, aku kembali memberinya death glare.
Dan ia malah merangkulku.
“HEY MESUM! BERHENTI!”
yang benar saja, Natsu baru akan jera setelah aku beri pelajaran. Anehnya,
Natsu tak meringis kesakitan seperti biasanya. Ia tersenyum. Perlahan, ia
mengambil tanganku lagi dan menggandengnya.
“Maaf, aku takkan mesum lagi.” Oh Tuhan! Ada
apa dengan orang ini? “Tch, lepaskan. Kau mau aku bunuh 600 kali hah?” dengan
cepat aku menepis tangannya yang ngotot
menggandeng tanganku—yang kini bergetar hebat.
Aoi’s
Beauty Collection
Aku memasuki toko baju
yang di rekomendasikan oleh Natsu. Ini pertama kalinya aku akan belanja di toko
pakaian gadis – gadis feminism. Biasanya, aku hanya tertarik dengan distro –
distro yang bernuansa warna – warna gelap. Bagiku, kaos, kemeja, sepatu kets,
dan topi sudah lebih dari cukup untuk membuatku keren—bukan feminim.
“Nah, kau sekarang di
toko baju, kau bebas memilih apa saja yang cocok bagimu—” Natsu memulai
instruksinya. Sedangkan aku mulai mengedarkan pandangan, dari sudut ke sudut
berikut, aku hanya mencari kaos—kali ini dengan warna yang sedikit girly. Aku yakin aku cocok dengan kaos
dengan tipe seperti itu.
“—tidak ada kaos, jins, topi, dan sepatu kets. Jika
itu yang kau cari.” Natsu melemparkan senyum kemenangannya padaku. Sial.
Satu yang menarik
perhatianku. Setelan yang ada di manekin depan toko itu. Paduan warna biru dan
hijau tosca-nya membuatku merasa cocok—sepertinya. Aku meminta pelayan
mengambilkan baju itu padaku.
Jrengggg~
Aku.sama.sekali.tidak.cocok.
Berulang kali aku meminta
beberapa baju untuk dicoba, pelayan disini pun melihatku heran sampai
menggelengkan kepala mereka. Oh tolonglah! Aku benar benar tak mengerti apa
yang harus ku lakukan!
“Fuyuki, sudah
selesai?” aku menatap orang yang berbicara padaku sekarang, dengan wajah
frustasi yang tidak tertolong. “Astaga kau kenapa?!” Natsu mengguncang tubuhku
seperti hendak menyadarkanku. Hey Natsu, aku masih 100% sadar.
“Natsuuuuu! Aku sama
sekali tidak mengerti dengan situasi ini! Aku bingung! Apa yang harus aku
pilih? Semuanya tidak cocok denganku, bodoh!” aku kembali mengerang frustasi di
hadapan Natsu.
Puk puk!
Aku terdiam sesaat, ku
rasakan tangan Natsu menepuk pelan puncak kepalaku, kemudian mengacak rambutku
seperti yang biasanya ia lakukan padaku sejak dulu. Kita berteman sejak kecil,
walaupun aku dan Natsu sering menyuruh satu sama lain untuk mati 100 kali dan
seterusnya, terkadang Natsu menjadi sosok kakak yang baik untukku, ya walaupun
aku benci mengakuinya.
“Sudah ku duga, kau
perlu bantuanku. Ini. Cobalah.” Ia memberikanku satu baju terusan berwarna
putih susu. Kalau aku perkirakan, panjang baju itu sekitar selututku. Aku
menerima baju itu dan menuju ke ruang ganti.
“Kalau ini juga tak
cocok untukku, kita pulang.” Natsu hanya mendorongku masuk sembari berkata,
“Cepatlah, aku penasaran.”
Baju ini begitu pas di
tubuhku. Panjangnya sesuai dengan perkiraanku. Warnanya cocok untuk warna
kulitku. Seperti yang diharapkan,
Natsu si jenius.
Tapi tetap saja, aku
merasa ini tidak cocok untukku
---
Setelah 5 menit, aku
keluar dengan ragu ragu. Aku hanya menyembulkan kepalaku dan menutupi badanku
dengan gorden ruang ganti.
“Natsu, tidak cocok.”
“Aku ingin lihat.” dia
berusaha untuk membuatku melepaskan gorden ruang ganti.
“Tidak.”
“Cepat.”
“Tidak!”
“Cepat!” Natsu membuka
paksa gordennya. Lalu terdiam. Benar kan, aku sama sekali tak cocok sampai
membuatnya diam seperti itu.
“Fuyuki, kau tau apa
yang sedang ku lihat?” dia tetap mematung. “Apa?” yeah Natsu, aku sudah siap
kau ledek kali ini.
“Seorang putri yang
cantik.” Natsu blushing!
“Hah? Bohong.”
“Kau mau aku bunuh 700
kali hah? Yasudah kalau tak percaya.” Natsu menarik pipiku dengan keras. Sial,
ini sakit. Natsu memujiku cantik dan ini bukan mimpi!
“Kau tidak bohong kan?”
tanyaku lagi untuk memastikan
“Tidak sama sekali. Kau
cantik. Manis.”
“Ma-makasih.
Kalau begitu aku pilih yang ini saja.” Natsu tersenyum mendengar jawabanku.
Masalah baju telah
selesai, sekarang tinggal sepatu. Aku melirik Natsu yang sedang berjalan
disamping, tatapanku yang biasa tapi lama—semakin lama semakin menyeramkan bagi
Natsu, membuat Natsu sadar.
“Untuk yang lainnya,
aku juga bantu kok.” Dia tersenyum lagi. Berapa kali Natsu tersenyum padaku
hari ini?
“Makasih.” Balasku singkat. Ku rasa aku mempunya
mood yang baik untuk Natsu hari ini. Dia beda dari biasanya. “Tak masalah, asal
kau mebayar makanku selama 7 hari.” Okay, aku tarik ucapanku tadi. Dia sama
saja. Menyebalkan.
“Fuyuki, aku ke toilet
sebentar. Gak tahan. Tunggu ya.” Natsu segera berlari setelah menyuruhku
menunggu. Dasar, orang itu selalu terlihat seperti anak kecil kalau sudah
kebelet.
Seperti yang ku
katakan, Natsu dan aku teman masa kecil. Aku tak sepenuhnya kesal dengannya.
Aku bahkan menyadari ada sesuatu yang tak beres di hatiku. Aku ada rasa sayang
untuk Natsu. Tapi Natsu mempunyai seseorang yang ia sukai sejak kelas 6 SD—saat
itu aku pertama dan terakhir kalinya kami beda kelas, dan saat itu ia bertemu
bunga matahari-nya itu. Sejak saat itu aku selalu marah – marah seperti
sekarang, aku tak bisa bersikap manis lagi seperti dulu ketika kami masih SD.
Aku cemburu, dia tak melihatku.
Mungkin kau bingung
kenapa Natsu menyebutnya ‘Bunga Matahari’?
Aku juga, makanya aku
menanyakan hal ini pada Natsu. Kau tau dia menjawab apa?
Flashback
“Gi…zen…sha
Ha…ru” untuk pertama kalinya aku mendengar nama lain yang disebutkan Natsu
ketika ia telah menemukan namanya pada pengumuman penempatan kelas.
“Gizensha?
Siapa?” Natsu hanya tersenyum ketika aku menunjukan wajah penasaranku yang
selalu ia anggap imut itu.
“Bunga
matahariku.” Jawabnya singkat. Setelah itu ia kembali menyusuri nama demi nama
pada pengumuman Tokyo International Junior High School. “Haa~ ternyata benar,
dia pindah ke Amerika rupanya.” Untuk pertama kalinya Natsu menunjukkan raut
wajah kecewa di hadapanku. Biasanya ia hanya mengoceh ‘aku laki laki! Aku kuat!
Tak perlu kecewa’ dan sebagainya.
“Kenapa
bunga matari?” tanyaku lagi.
Untuk
kedua kalinya ia tersenyum, “Ibuku pernah bilang, bunga matahari mempunyai arti
yang bagus dalam bahasa bunga,”
“Hee,
artinya apa Natsu?” aku menarik ujung bajunya untuk mempercepat jawabannya.
“Cinta
pertama.”aku menyesal menanyai arti bunga matahari.
Flashback end.
Aku sudah tak mempunyai
harapan lagi.
Aku mendudukkan diriku
pada bangku kosong di dekat eskalator menuju lantai 3. Untuk orang yang
kebelet, Natsu sangat lama. Ini sudah 10 menit.
“Aaah~ Akira~ Jangan
disini~” tch, muncul suara di belakangku, tepatnya disisi kanan eskalator—aku disisi kiri. Gadis itu sedang apa
sih? Suaranya sangat erotis. Menjijikan.
“Diamlah, honey. Kalau tak disini, mau ke hotel?”
Deg. Suara ini, suara yang ku dengar kemarin kan? Suara berat yang mengajakku
kencan untuk pertama kalinya kan?
“Nggh, terlalu jauh.
Aku malas sayang.” Mereka sedang apa sih?!
Dengan spontan aku
menuju sumber suara yang bagiku sangat.teramat.menjijikan itu. Dan ta-ra! Aku menemukan
kakak kelasku yang katanya keren itu sedang bermain dengan gadis pirang yang seksi. Cih, dia playboy ya.
“Fuyuki, aku bisa menjelaskan—“
kak Akira berusaha memegang tanganku dengan mata yang memelas.
“Ini uang untuk
mengganti laundry-nya. Dah.” Aku
memasukan sejumlah uang ke dalam saku kemejanya. Dia hanya mematung.
“Lalu kencan kita?”
Bodoh, mana ada yang mau kencan setelah melihat pasangannya sedang melakukan
hal yang menjijikan?
“Bodoh, jelas batal.
Lupakan saja, kau menjijikan.” Aku pergi sembari membawa kantong yang berisi
baju pilihan Natsu tadi. Acara memilih sepatu secara resmi dibatalkan. Aku tak
ada kencan.
“Cih, ku kira kau imut.
Tapi kelakuanmu—“ aku bisa merasakan pandangan Kak Akira menelitiku dari atas
sampai bawah dari belakang.
“—dan penampilanmu
sangat buruk,” Aku mengeratkan genggamanku pada kantong baju yang ku bawa.
Sial, sial, sial!
“ dan aku sangat yakin.
Tak ada satupun laki – laki yang akan menyukainya. Hahaha—“ Orang ini lebih
menyebalkan dari Natsu, ingin rasanya aku memberinya jurus karate ku padanya
sekarang. Tapi tubuhku tak bisa bergerak. Aku hanya diam dan meringis kesal.
Natsu, tolong bawa aku pergi dari sini!
“Salah total, brengsek.” Pandanganku menjadi gelap
seketika. Aku tidak pingsan. Aku masih berdiri tegak, hanya saja pandanganku
terhalangi oleh sesuatu, tubuhku dipeluk oleh sesuatu didepanku.
“Gadis ini, kau tahu,
aku menyukainya dengan sangat. Bagiku, diantara gadis yang lainnya—“ suara ini,
suara yang menyebalkan ini, Natsu, apa itu kau?
“—dia gadis yang
terhebat.” Nee Natsu, kau bohong. Gadis matahari-mu lebih hebat dariku. Ah,
tapi kebohonganmu membuatku terharu.
“Kau tahu, senpai? Dia
sangat bingung ketika memilih baju untuk kencan. Menurutmu kencan dengan siapa,
hah?” Natsu melepas pelukannya dan mulai melangkah maju. Mendekati kakak kelas
sialan itu.
“Kencan denganmu. Kau
harusnya menyesal karena dia terlihat jauh lebih manis ketika memakainya. Ku
harap, kau tidak menganggunya, senpai. Atau ku bunuh kau 100 kali.” Natsu
mengeluarkan nada yang dingin dan deathglare
yang seramnya menyamai milikku. Tak lupa ia menarik kerah baju Kak Akira hingga
senpai sedikit terangkat. Kau tahu? Kak Akira sedang keringat dingin sekarang.
“Bodoh. 100 kali
terlalu sedikit. 500 kali lebih pas untuknya.” Ujarku sambil tersenyum sinis.
“Ma-ma-af.” Sudah ku
duga, tatapan Natsu terlalu mengerikan baginya. Natsu menurunkannya dan menarik
lenganku untuk menjauh.
Yah, kejadian tadi
cukup menohokku. Sebegitu buruknya aku sampai – sampai tidak ada cowok yang
akan menyukaiku, sampai Natsu berbohong kalau ia menyukaiku. Hah, aku
menyedihkan.
“Fuyuki.” Natsu
memanggilku dan aku sedang malas menanggapinya karena dia berbohong padaku.
“Hey Fuyuki.” Dia
memposisikan wajahnya di depanku, terpaksa aku mengalihkan wajahku ke kanan.
“Oh, kau marah, hm?”
Dia kembali memposisikan wajahnya di depanku, dan aku menghindar, sampai
akhirnya Natsu memegang kedua pipiku agar aku diam. “Kenapa marah?” aku hanya
mengerucutkan bibirku sebagai tanda kesal. “Kau berbohong Natsu.” Natsu memutar
bola matanya bosan. “Tentang?” tanyanya lagi, tangannya tetap memegang pipiku
yang mulai bergetar. “Tch, lepas.” Aku menepis kasar tangannya dan berlari
menjauhi Natsu.
“Hei! Kau kenapa sih?”
Natsu mengejarku. Dan aku semakin kencang berlari, seorang atlet sepertiku
tidak ada masalah dengan berlari.
“Kau berbohong! Kau
bilang kau menyukaiku? Cih! Kau
mengejekku! Kak Akira benar, aku buruk,” aku terus berlari karena Natsu masih
mengejar.
“Fuyuki! Tunggu! Hey,
dengarkan aku!”
“Aku tidak seksi! Aku
tidak menawan!”aku mengerang frustasi setelahnya.
“Walaupun aku tidak
sedang jatuh cinta,” lariku melambat, suaraku menjadi pelan.
“aku hanya ingin
berubah menjadi lebih manis dan feminim. Apa itu salah?” akhirnya aku berhenti,
aku terdiam dan melihat penampilanku hari ini. Ah, buruknya…
“Kau bodoh, Fuyuki.”
Lenganku di tangkap oleh Natsu. Nafasnya tersenggal – senggal dan ia ingin
mencoba mengatakan sesuatu. Natsu menarikku dan membuatku berhadapan dengannya.
Sial, aku sedang menangis, jangan lihat. “Lepas Natsu. Jangan lihat aku. Aku
jelek Natsu, aku jelek.” Dengan kasar Natsu menepis tanganku yang berusaha
menutupi wajahku. Astaga, aku semakin jelek sekarang, aku sedang menangis. Natsu
terdiam, cukup lama. Tak ada yang mengungkapkan sesuatu, aku hanya menangis
sekarang, sedangkan Natsu memandangiku tanpa berkata apapun.
Semuanya terjadi tiba –
tiba, tidak ada adegan slowmotion
seperti di film – film roman, dengan cepat Natsu menciumku dibibir. Ciuman itu
sukses membuatku berhenti menangis. Ciuman sekedar kecup yang sangat berarti
bagiku.Ciuman pertama.
“Kamu harusnya punya
kepercayaan diri. Kemana Fuyuki yang ku kenal?” ia melepas ciumannya kemudian
memalingkan wajahnya. Aku bisa lihat, terdapat rona merah di pipi Natsu.
“Dengar ya, aku hanya
mengucapkannya satu kali.” Aku hanya mengangguk.
“Huft. Sial, ini lebih
susah dari bayanganku.” Aku hanya menelengkan kepalaku dan menunggunya untuk
melanjutkan.
“Saat Fuyuki tidak
menjadi dirimu sendiri, saat kamu ketawa lepas. Kau tahu? Aku menjadi sangat
gugup—“ aku hanya melontarkan seruan ‘eh?’ sebagai respon kagetku.
“—tapi, saat aku
melihatmu kebingungan memilih baju untuk kencanmu, saat aku melihat kamu marah,
dan kamu melakukan sesuatu dengan usaha terbaikmu—“ Natsu menghela nafasnya
berat.
“—disaat yang sama, aku
berpikir kalau kamu sangat cantik, imut, manis, dan sebagainya.” Blush! Kau bilang apa Natsu. Ah, kau
bercanda kan?
“Aku tak bisa berhenti
memikirkanmu, Fuyuki. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu dan tertarik padamu.
Aku benar – benar tak bisa. Percayalah.” Ia mengelus lembut puncak kepalaku
sambil memerah malu. Aku terjatuh dalam posisi duduk diatas aspal. Aku kembali
menangis, terharu mungkin?
“Cukup. Kembalikan ciuman
pertamaku, bodoh” ujarku dalam tangisku.
“Maaf.” Balasnya
singkat.
“Mati saja sana, 200
kali.” Aku hanya menggunam tak jelas. Perlahan jemariku menyentuh lengannya
seolah berkata ‘jangan, aku hanya bercanda’. Natsu tak menjawab apa pun, ia
hanya menyamakan posisinya denganku dan kembali memelukku.
Aku
dan Natsu hanya teman.
Natsu
sudah memiliki orang yang ia sukai sejak kecil.
Aku
tak mungkin bisa menyukainya lagi.
Tapi
terkadang, aku sadar. Rasaku sudah semakin dalam.
Hah,
hatiku sakit sekali, Natsu.
- Bersambung -
Chapter 2 – Sun Flower
0 comments:
Post a Comment